Saya lahir dan dibesarkan di Banyuwangi, sebuah kota di Jawa Timur, tempat orang tua kami tinggal hinga kini. Sebenarnya saya dilahirkan dari keluarga muslim. Ayah dan ibu saya pun beragama Islam. Ketika kecil saya pun beragama Islam. Sampai pada usia 6 tahun, oleh orang tua, saya dimasukkan ke Sekolah Dasar Katolik.
Di sekolah ini saya sering kali dicekoki doktrin Kristen: doktrin tentang ketuhanan Yesus dan Bunda Maria. Doktrin itu kalau sudah masuk ke dalam pikiran anak-anak, luar biasa pengaruhnya. Demikianlah yang saya rasakan saat itu. Tanpa sadar saya menjalani hidup sebagai orang Kristen. Mulai dari cara berdoa sebelum makan, cara sembahyang dan lain sebagainya. Pada akhirnya saya dibaptis dengan nama Paulus Tjahyono. Dengan demikian resmilah saya menjadi umat Katolik.
Menganai sekolah ini saya ingatkan kepada orang tua agar tidak menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah milik umat agama lain, meskipun mungkin sekolah itu mutunya lebih bagus. Sebab, sebagaimana yang saya alami, hal tersebut akan membawa perubahan besar dalam kehidupan beragama seorang anak. Kanak-kanak itu masih lugu pikirannya. Mereka belum dapat membedakan secara baik mana yang benar dan mana yang salah. Karena itu, ketika suatu doktrin dipompakan ke pada seorang anak, mereka akan menelannya tanpa menelaah lagi.
Hijrah ke Jakarta
Sejak SMP, bakat lawak sudah tampak pada diri saya. Karena itu, saya banyak disukai teman-teman. Mereka betah berkawan dan mendengarkan saya melawak. Sesekali grup lawak kami walaupun masih amatiran manggung di tempat-tempat pertunjukan kampung atau sekolah. Untuk mengembangkan bakat, pada usia 21 tahun, tepatnya pada tahun 1972, saya hijrah ke Jakarta (saya katakan “hijrah” bukan pindah, karena di Jakarta saya menemukan kembali agama saya). Di sini saya bergabung dengan group komedi Jawa Timur.
Sejak SMP, bakat lawak sudah tampak pada diri saya. Karena itu, saya banyak disukai teman-teman. Mereka betah berkawan dan mendengarkan saya melawak. Sesekali grup lawak kami walaupun masih amatiran manggung di tempat-tempat pertunjukan kampung atau sekolah. Untuk mengembangkan bakat, pada usia 21 tahun, tepatnya pada tahun 1972, saya hijrah ke Jakarta (saya katakan “hijrah” bukan pindah, karena di Jakarta saya menemukan kembali agama saya). Di sini saya bergabung dengan group komedi Jawa Timur.
Dua tahun kemudian saya bertemu dengan Jojon yang saat itu aktif di group kesenian Jawa Barat. Dari hasil bincang-bincang, kami bersepakat membentuk group lawak dengan nama Jayakarta Group. Bersama dengan Uuk, almarhum Joni Gudel, dan Jojon, kami manggung untuk pertama kalinya di Jakarta Fair. Kerjasama kami tidak hanya didasarkan pada kepentingan bisnis semata, namun lebih diwarnai suasana kekeluargaan. Karena itu, jika di luar pentas, kami seperti keluarga sendiri layaknya.
Semua teman saya di Jayakarta Group beragama Islam. Saya sering berdiskusi dengan Jojon, Uuk, Prapto atau Ester, mengenai Kristen dan Islam. Dari diskusi itu, saya tergugah untuk mempelajari Islam secara mendalam. Mulailah saya membaca buku-buku Islam, baik yang berkaitan dengan tauhid, akhlak ataupun syariat.
Selain hal di atas, ada salah seorang teman saya yang paling berpengaruh dalam membimbing saya ke arah Islam. Dialah Haji Roma Irama, si Raja Dangdut. Dengan saya sering berdialog tentang Islam. Kebetulan dia tahu banyak tentang ajaran ajaran Katolik, sehingga dia mengetahui persis di mana letak kesalahannya. Dari diskusi itulah, ditambah dengan mempelajari sendiri buku-buku Islam, saya semakin meyakini kebenaran Islam.
Ajaran Islam mengenai keesaan Tuhan sangat jelas “laailaha illallah” Tidak ada ilah (Tuhan) yagn patut di sembah keculai Allah. Dengna mengucapkan kalimat itu, berarti saya mengikrarkan diri saya sendiri bahwa tidak ada satupun benda, baik berupa kekuasaan, harta maupun hal-hal liannya yang boleh menguasai hidup saya. Sebab, hidup saya hanya untuk beribadah pada Allah SWT.
Akhirnya, pada tanggal 1 Syawal 1412 H/1992 M, seusai melaksanakan shalat Idul Fitri, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat, di bimbing K.H. Rahatib dan disaksikan ribuan umat Islam yang baru saja melaksanakan shalat Idul Fitri di Masjid Agung Banyuwangi, Jawa Timur. Tentu saja orang tua saya sangat senang menyambut keislaman saya. Seolah olah beliau telah menemukan kembali anaknya yang hilang.
Dua bulan setelah masuk Islam, secara “tidak sengaja” saya menunaikan ibadah haji. Ceritanya, pada waktu itu saya mengantarkan orang tua mendaftar di sebuah biro penyelenggara haji ONH Plus. Oleh pimpinan biro haji tersebut saya ditawari pergi haji gratis. Wah, tidak dapat saya ungkapkan rasa syukur saya waktu itu. Baru dua bulan masuk Islam sudah menerima karunia yang tidak terhingga, untuk melaksanakan sunnah Nabi Ibrahim a.s.
Sepulang dari haji, saya merasa dilahirkan kembali. Keimanan saya semakin bertambah. Sejak itu, saya menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren Assidiqiyah, Kedoya, Jakarta Selatan, diajar langsung oleh K.H. Noer Muhammad Iskandar S.Q. Ke mana pun K.H. Noer berdakwah, saya selalu ikut.
Pada akhirnya saya menjadi “ban serep” Pak Kiai, Kalau Pak Kiai berhalangan hadir memberikan ceramah, saya diminta untuk menceritakan perjalanan saya masuk Islam. Hingga saat ini saya giat berdakwah. Itu tidak berarti saya berhenti belajar. Bahkan sekarang, untuk belajar ilmu-ilmu agama, salah seorang ustadz di Pesantren Assidiqiyah sya minta tinggal di rumah saya, di kompleks Mas Naga Blok A/7 Cakung, Bekasi.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar anda sangat berarti bagi blog ini