Tanggal 6 Juni tahun 1989 jenazah suci pendiri Republik Islam Iran Imam Khomeini dikebumikan dengan diiringi duka pilu seluruh rakyat Iran.
Prosesi pemakaman Imam Khomeini mencatat rekor karena diikuti oleh lebih dari 10 juta rakyat Iran dan warga negara lainnya. Sehari sebelumnya, jenazah Imam Khomeini disemayamkan di Mushala Teheran. Setelah itu, pada tanggal 16 Khurdad, jenazah suci tersebut dibawa ke kawasan sekitar Taman Makam Pahlawan Behest-e Zahra, tempat dikebumikannya puluhan ribu syuhada revolusi dan syuhada perang melawan Rezim Ba'aths Saddam.
Beliau adalah nama yang selalu dirndukan oleh jutaan Muslim di seluruh dunia. Tatapannya yang tajam menggetarkan Barat dan Timur. Pemimpin bersahaja ini telah mengubah alur sejarah, bukan hanya Iran, negerinya, tetapi juga seluruh dunia.
Imam Khomeini (r.a) lahir pada tanggal 20 Jumadi Tsaniyah tahun 1321 hijriyah. Kelahirannya bertepatan dengan hari lahir Sy. Fatimah Zahra putri Nabi Muhammad SAW. Imam Khomeini yang terlahir dengan nama Ruhullah Mostafavi (Musavi) berasal dari keluarga yang dikenal dengan ketinggian ilmu, taqwa dan perjuangan melawan kezaliman. Ayah beliau, Ayatollah Sayid Mostafa Musavi gugur Shahid di tangan berandalan lokal karena pembelaannya terhadap orang-orang yang tertindas. Ketika itu, Ruhullah masih berusia lima bulan.
Sepeninggal ayahnya, Imam Khomeini hidup di bawah bimbingan ibunya (Banu Hajar) yang penyayang, bibinya (Sahebeh Khanoum) yang dikenal bertaqwa dan pemberani, serta pengasuhnya yang saleh (Nane Khavar). Sejak kanak-kanak beliau sudah mempelajari kemahiran berkuda dan menembak.
Periode Pertama
Masa kanak-kanak dan remaja dilewati oleh Sayid Ruhullah ketika Iran sedang mengalami gejolak besar politik dan sosial. Sejak masa itu, Ruhullah telah mengenal dari dekat kesulitan yang dialami oleh masyarakat umum. Keterlibatan keluarganya dalam membela hak-hak kaum tertindas membuatnya kelak tumbuh menjadi pejuang hakiki. Ketika masih kanak-kanak ia sering melukiskan perasaannya yang memprihatinkan kondisi masyarakat sekitar dalam corat-coret buku gambarnya. Di masa remaja, perasaan itu semakin dalam ia rasakan. Dalam salah satu bukunya yang ia tulis di masa remaja, Ruhullah yang kala itu masih berusia antara 9 dan 10 tahun menulis demikian;
Di manakah kecemburuan Islam?
Di manakah gerakan kebangsaan?
Di manakah gerakan kebangsaan?
Kepada bangsa Iran Sayid Ruhullah menulis;
Wahai bangsa Iran, Iran terancam petaka
Negeri Daryush dijarah bangsa Nicholas (1
Wahai bangsa Iran, Iran terancam petaka
Negeri Daryush dijarah bangsa Nicholas (1
Tulisan itu bisa disebut sebagai statemen politik pertama yang dibuat oleh Sayid Ruhullah remaja yang kelak akan memimpin bangsa Iran, sekaligus menunjukkan perhatiannya yang besar kepada nasib negeri dan bangsanya.
Sayid Ruhullah sangat tertarik kepada tokoh-tokoh pejuang. Ketika Mirza Kucik Khan Jangali bangkit berjuang dengan mengangkat senjata, Ruhullah ikut membantu menyampaikan pidato dan membaca syair tentang Mirza Jangali. Ia juga terlibat mengumpulkan dana untuk membantu gerakan Mirza. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk bergabung dengan kelompok Jangali dan bertemu Mirza. (2
Pendidikan
Sayid Ruhullah Musavi (Mustafavi) memiliki kecerdasan yang luar biasa. Ia berhasil menguasai berbagai cabang ilmu. Selain ilmu fiqih, ushul dan filsafat, ia juga menguasai irfan. Kedalaman ilmunya diakui oleh para gurunya sendiri. Sayid Ruhullah belajar dari sejumlah guru di kota Khomein, Arak dan Qom. Hanya dalam waktu enam tahun ia berhasil mempelajari banyak cabang ilmu sebelum akhirnya mengukuhkan diri sebagai salah seorang ulama dan pengajar di pusat ilmu Islam di kota Qom. (3
Pidato Resmi Pertama
Ketika masih menjadi pelajar agama di kota Arak, Sayid Ruhullah Mosavi yang kala itu berusia 19 tahun untuk pertama kalinya mendapat kesempatan secara resmi berpidato di depan umum. Pidato itu dalam acara memperingati tokoh penting Revolusi Konstitusi Mojtahed Tabatabai. Pidato yang lebih mirip dengan statemen politik itu disampaikan oleh seorang pelajar agama yang masih muda untuk mengenang jasa tokoh perjuangan Revolusi Konstitusi. (4
Imam Khomeini mengenai hari itu menceritakan demikian;
"...Aku diminta untuk menyampaikan khotbah di atas mimbar. Tawaran itu aku terima dengan baik. Malam itu aku tak banyak tidur, bukan karena takut berbicara di depan umum tetapi karena meyakini bahwa aku bakal berdiri di mimbar milik Rasulullah SAW. Karena itu aku memohon kepada Allah untuk memberikan pertolonganNya kepadaku, agar di antara semua yang ku ucapkan sejak awal hingga akhir, jangan ada kata-kata yang tidak ku yakini. Permohonan ini adalah ikrar antara aku dan Allah. Khotbahku yang pertama kali berlangsung panjang, tapi tidak ada orang yang merasa lelah...Aku mendengar suara sebagian orang yang memuji pidatoku. Terlintas di hatiku perasaan senang mendengar pujian itu. Karena itu undangan kedua dan ketiga untuk berpidato aku tolak dan selama empat tahun setelah itu aku tidak pernah naik ke mimbar dan berkhotbah." (5
"...Aku diminta untuk menyampaikan khotbah di atas mimbar. Tawaran itu aku terima dengan baik. Malam itu aku tak banyak tidur, bukan karena takut berbicara di depan umum tetapi karena meyakini bahwa aku bakal berdiri di mimbar milik Rasulullah SAW. Karena itu aku memohon kepada Allah untuk memberikan pertolonganNya kepadaku, agar di antara semua yang ku ucapkan sejak awal hingga akhir, jangan ada kata-kata yang tidak ku yakini. Permohonan ini adalah ikrar antara aku dan Allah. Khotbahku yang pertama kali berlangsung panjang, tapi tidak ada orang yang merasa lelah...Aku mendengar suara sebagian orang yang memuji pidatoku. Terlintas di hatiku perasaan senang mendengar pujian itu. Karena itu undangan kedua dan ketiga untuk berpidato aku tolak dan selama empat tahun setelah itu aku tidak pernah naik ke mimbar dan berkhotbah." (5
Periode Kedua
Periode ini dimulai ketika Sayid Ruhulah Mosavi hijrah ke kota suci Qom. Saat itu, Reza Khan Pahlevi, raja pertama dinasti Pahlevi melanjutkan kebijakannya yang anti agama. Di masa ini, Sayid Ruhullah yang sedang sibuk dengan aktivitas belajar, mengajar dan menulis buku, mulai berkenalan dengan para ulama pejuang seperti Ayatollah Haj Agha Nurullah Esfahani, Ayatollah Modarres dan sejumlah nama besar lainnya. Di masa kekuasaan Reza Khan ini tercipta kondisi yang sangat mencekik. Karena itu para ulama berjuang untuk mempertahankan dan melindungi hauzah ilmiah yang merupakan pusat pendidikan agama Islam di Qom. Bisa dikatakan bahwa perjuangan mempertahankan hauzah di zaman itu tidak kalah pentingnya dari membentuk pemerintahan Islam yang kelak terjadi tahun 1979. (6
Periode Ketiga
Periode ini dimulai ketika Imam Khomeini (ra) menginjak usia 40 tahun. Saat itu terjadi dua peristiwa besar, pertama berkecamuknya Perang Dunia II dan jatuhnya Iran ke tangan pendudukan asing, dan kedua larinya Reza Khan ke luar negeri dan anaknya yang bernama Mohammad Reza naik ke singgasana kekuasaan.
Melihat kondisi yang ada, Sayid Ruhullah Mosavi merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk melakukan gerakan kebangkitan demi memperbaiki kondisi negeri yang carut marut. Meski telah melakukan banyak usaha, namun kebangkitan yang diinginkan tidak terjadi. Imam Khomeini yang telah dikenal sebagai salah seorang ulama besar di Qom memiliki kecakapan yang seharusnya untuk memimpin sebuah gerakan kebangkitan rakyat. Beliau sudah merasakan 20 tahun kekuasaan Reza Khan dan memiliki wawasan politik yang luas. Pada tanggal 11 Jumada Thani tahun 1363 hijriyah atau sekitar tahun 1944 masehi, Imam Khomeini merilis sebuah statemen yang menyerukan rakyat bangkit dengan memanfaatkan kondisi yang ada. "Hari ini bertiup angin ruhani yang sejuk dan hari ini adalah hari yang paling baik untuk sebuah kebangkitan demi perbaikan. Jika kalian lewatkan kesempatan ini dan tidak bangkit demi ridha Allah serta tidak mengambalikan syiar agama ke posisinya semula, maka besok, orang-orang tak bermoral dan pengumbar Shahwat akan menguasai kalian. Mereka akan mempermainkan kehormatan kalian demi kepentingannya." Demikian bunyi statemen itu. (7
Periode Keempat
Periode keempat kehidupan Imam Khomeini berbarengan dengan dua peristiwa duka. Pertama adalah wafatnya Ayatollah al-Udzma Boroujerdi pada tanggal 29 Maret 1961. Dengan wafatnya marji besar Syiah ini, dunia Islam kehilangan salah satu tokoh penting yang membentengi Islam, dan di sisi lain musuh-musuh Islam dan Iran bersuka cita atas kepergian Ayatollah Boroujerdi (ra). Peristiwa kedua adalah wafatnya Ayatollah Kashani, pejuang besar dalam melawan kekuasaan imperialisme Inggris. Nama Ayatollah Kashani cukup membuat hati penguasa Britania Raya dan musuh-musuh Islam bergetar. Wafatnya dua ulama besar ini terjadi seiring dengan dimulainya periode masuknya pengaruh Amerika Serikat (AS) di Iran.
AS gencar menekan rezim Shah Pahlevi untuk memberlakukan perubahan di semua bidang sesuai kemauan Washington. Imam Khomeini menangkap sinyal bahaya besar di balik perombakan gaya AS ini. Langkah-langkah rezim Pahlevi hanya akan membuka jalan bagi AS dan Israel untuk menguasai Iran. Imam Khomeini gencar mengingatkan semua pihak untuk menyadari bahaya dari langkah-langkah Shah. Rezim melakukan pembalasan atas gerakan Imam dengan sebuah tindakan yang brutal. Tentara dan dinas keamanan (SAVAK) tanggal 22 Maret tahun 1963, bertepatan dengan peringatan Shahadah Imam Jafar Shadiq (as), dikerahkan untuk menyerang madrasah Feiziyah di Qom, tempat Imam Khomeini mengajar. Banyak pelajar agama yang gugur Shahid dalam peristiwa itu.
Peristiwa Feiziyah semakin mendorong Imam Khomeini untuk melanjutkan gerakannya. Memperingati 40 hari gugurnya para pelajar Feiziyah, Imam Khomeini menyampaikan pidatonya yang berapi-api. Beliau mengumumkan tidak akan diam sebelum menundukkan rezim Shah. Malam harinya, Imam Khomeini ditangkap dan dijebloskan ke penjara Qasr. Pagi hari, berita penangkapan Imam Khomeini didengar oleh masyarakat luas di Tehran dan kota-kota lainnya.
Massa dalam jumlah besar berbondong-bondong memenuhi jalanan dan bergerak menuju istana Shah. Mereka berjalan dengan meneriakkan yel-yel "Khomeini atau Mati". Dengan slogan ini mereka menuntut rezim untuk membebaskan ulama pejuang ini. Rezim pun melakukan tindakan brutal dengan membantai para demonstran. Korban pun berjatuhan.
Kepemimpinan Imam Khomeini dalam gerakan melawan Shah nampaknya reda ketika rezim mengasingkan beliau ke Turki lalu Irak. Namun aktivitas perjuangan Imam Khomeini tidak berhenti meski di pengasingan. Tahun 1978, putra tertua Imam Khomeini bernama Ayatollah Sayid Mostafa Khomeini dalam sebuah peristiwa mencurigakan didapatkan terbujur kaku di kamarnya. Banyak bukti yang mengarah kepada keterlibatan SAVAK dalam pembunuhan Ayatollah Mustafa yang selalu menyertai ayahnya dalam setiap langkah.
Syahidnya Ayatollah Mostafa Khomeini kembali menyulut gelora perjuangan yang selama ini dilakukan di bawah tanah. Gelora itu kian membara setelah koran Ettelaat memuat tulisan artikel yang menghujat Imam Khomeini dan kalangan ulama secara umum. Masyarakat Muslim menggelar aksi demo dan memprotes kekurangajaran koran Ettelaat. Aksi demo itu berujung pada peristiwa pembantaian yang dilakukan tentara terhadap warga kota Qom. Gerakan kebangkitan rakyat silih berganti terjadi di beberapa kota penting, Qom, Tabriz, Isfahan, Yazd, Shiraz dan kota-kota lainnya. Puncak politik tangan besi rezim Shah terjadi pada peristiwa yang dikenal dengan nama peristiwa 17 Shahrivar 1357.
Shah Mohammad Reza Pahlevi yang menyaksikan kondisi Iran sudah tidak memungkinkan baginya untuk menetap lebih lama, segera angkat kaki meninggalkan Iran dan singgasananya. Dengan larinya Shah, Imam Khomeini yang saat itu berada di Paris memutuskan untuk kembali ke Iran. Jutaan warga menyambut kedatangan Imam Khomeini. Tiba di Tehran, Imam langsung menuju Behesht-e Zahra, taman makam para pahlawan perjuangan melawan rezim Shah. Di sana beliau menyampaikan pidatonya yang bersejarah. Imam menyatakan bahwa kekuasaan yang ada saat ini tidak legal.
Tiba tanggal 1 Februari 1979, Imam Khomeini segera memimpin langsung perjuangan rakyat Iran menumbangkan kekuasaan despotik Shah Pahlevi yang sudah di ujung tanduk. Tanggal 10 Februari, PM Shapour Bakhtiar mengeluarkan undang-undang darurat militer dan jam malam. Imam dalam sebuah amaran singkatnya menyebut jam malam tidak legal. Selama 24 jam terjadi bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara yang masih setia kepada rezim Shah.
Pagi hari tanggal 11 Februari 1979, dengan kaburnya Bakhtiar ke luar negeri, kekuasaan Shah Pahlevi berakhir. Sebagai gantinya berdiri pemerintahan baru dengan sistem Republik Islam.
Sejak kemenangan revolusi Islam hingga 2 Juni 1989 (hari wafat Imam Khomeini) terjadi banyak peristiwa penting di Iran yang menunjukkan betapa Amerika Serikat (AS) memusuhi pemerintahan Islam ini. Kelompok pemberontak sayap kanan atau kiri di Iran yang berusaha menumbangkan pemerintahan Islam didukung secara penuh, baik secara politik maupun financial, oleh Barat dan Timur. Adi daya dunia pun mendorong Saddam Hossein, dikatator Irak untuk menyerang Iran. Perang pun meletus dan berlangsung selama delapan tahun.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar anda sangat berarti bagi blog ini