Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, Kapolri Jenderal Pol Timor Pradopo, Pangdam I/BB Mayjen TNI Leo Siegers dan Kapolda Sumut Irjen Pol Wisjnu Amat Sastro melakukan salam komando di halaman Mapolda Sumut.
Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono menegaskan, TNI dan Polri akan mengokohkan sinergitas pemberantasan terorisme di Indonesia. Dengan demikian, tidak terkesan bekerja secara sendiri-sendiri.
"Kedatangan saya dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo ke Medan untuk menguatkan sinergitas TNI dan Polri, sekaligus melihat langsung prajurit TNI/Polri," kata Agus didampingi Kapolri, Kapolda Irjen Wisjnu Amat Sastro dan Pangdam I/BB Mayjen TNI Leo Siegers usai memberi pengarahan kepada Perwira TNI/Polri saat Kunjungan Kerja (Kunker) ke Mapolda Sumut, Kamis (16/6) pagi.
Sinergitas lain, tambah Agus, berupa pembagian informasi dan saling berkoordinasi maupun menanggulangi segala bentuk kejahatan yang muncul. Sinergi tersebut tentunya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ditegaskan, selama ini hambatan koordinasi antara TNI dan Polri hampir tidak ada. Khusus penanggulangan terorisme, kini telah dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Kejahatan (BNPK). "Yang penting, bagaimana mencegah agar tidak terjadi atau muncul perbuatan yang bisa mengganggu keamanan.
Ditambahkan Kapolri, teroris tak hanya menjadi musuh Polri tetapi TNI juga harus dilibatkan. "Polri tak memiliki kekuatan besar untuk menumpas berbagai bentuk kejahatan. Justru masyarakat lebih memiliki andil besar mencegah maupun memerangi kriminalitas. Polri hanya mampu berperan 30 persen, selebihnya masyarakat. Intinya, kemitraan dengan siapa pun harus diperkuat sedini mungkin," sebutnya.
Apalagi, sambung Timur, Polri telah menemukan kaitan erat antara kejahatan terorisme dengan peredaran narkoba. Disimpulkannya, pelaku terorisme menjadikan narkoba sebagai ujung tombak pengumpul dana
Belum Terdeteksi
Terpisah, Kabag Penum Mabes Polri, Kombes Pol Boy Rafli Amar, menegaskan keberadaan teroris belum terdeteksi di Sumatera Utara (Sumut).
"Sementara ini keberadaan teroris belum terindikasi di Sumut, kecuali tahun lalu dan saat ini kami sedang melakukan upaya deteksi dini yang dilakukan berdasarkan peristiwa tahun lalu baik di Sumut, Aceh dan Poso," jelasnya
Menurutnya, program deteksi dini sangat penting dilakukan dalam rangka mengeliminir upaya teror, sebab terorisme kini mulai mengubah pola teror yang dilakukan. Jika dulu dilakukan dengan bom mobil, rompi dan tas, tapi kini mereka mengubah pola yakni menggunakan racun.
"Modus operandi racun sebagai bentuk teror baru dan dianggap sebagai salah satu upaya melakukan aksi. Ini salah satu upaya mereka melakukan teror. Bagi kami, paling penting harus siap menghadapi setiap bentuk aksi yang dilakukan, termasuk teror melalui cybermedia. Sekarang orang melakukan propaganda dan psywar lewat cybermedia agar masyarakat takut dan itu termasuk aksi terorisme," jabarnya.
Disebutkan, Kepolisian sudah meringkus 13 pelaku teror. Dari jumlah tersebut, enam orang di antaranya terkait penyebaran racun, baik di Poso maupun di Kemayoran, Jakarta, serta terkait pelatihan dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) di Aceh dan sisanya pemain baru yang direkrut dan berkoordinasi dengan pemain lama, yakni Abu Tholut. "Tetapi, aksi teror racun yang dilakukan belum menimbulkan korban," tegasnya.
Disinggung sidang teroris di Pengadilan Negeri (PN) Medan dan hampir setengah dari terdakwa menolak tuduhan tersebut, Boy Rafli menjelaskan, itu lazim terjadi sebab berharap lolos dari jerat hukum. Yang pasti, Kepolisian berharap keyakinan hakim sebab akan memutuskan hukuman berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Boy Rafli Amar juga menjabarkan, perlu adanya upaya mengantisipasi radikalisme seperti program deradekalisasi. Selain itu, tentunya lewat program pemerintah lintas sektoral. Hendaknya, kata Boy, program deradekalisasi juga dilakukan saat para pelaku teror masih berada di Lembaga Pemasyarakatan (LP). Selain menjalani hukuman, mereka (pelaku teror-red) juga diberi program deradikalisasi, termasuk di dalamnya para mantan narapidana (napi) dan orang-orang yang belum masuk ke kelompok itu.
Khusus kepada para mantan napi teror, perlu diketahui sejak 2002, berkisar 15 residivis kembali ke kelompok mereka untuk melakukan teror. Diharap hal seperti ini tidak terjadi di masa mendatang dan diperlukan program khusus supaya mereka mengurungkan niatnya untuk mengikuti kembali aliran itu
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar anda sangat berarti bagi blog ini